Jakarta –
Delikkasus13.com.–
Kantor Hukum Mata Law Firm & Partners” Ambrosius Benboy.SH, menjelaskan” Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang bertujuan menjadi keluarga yang Bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, kekuatan Nikah Siri, atau pernikahan dengan tata cara hukum Adat yang dimaksud dibawah tangan, adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi namun tidak melalui Kantor Urusan Agama, maupun Catatan Sipil, namun perlu untuk diketahui” Status pernikahan yang tidak tercatat oleh negara dan dimana kedua mempelai tidak akan mendapatkan buku nikah secara resmi dari KUA ataupun Catatan Sipil, atas pernikahan tersebut, sebab Nikah dibawah tangan melalui dengan tata cara hukum adat Adat merupakan perkawinan yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
Sebagai mana diketahui berdasarkan yang tertulis pada Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan tentang pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut Islam ataupun agama lainnya yang dilakukan oleh pegawai pencatat dengan tata cara pencatatan, yang dimana dalam hal ini nikah dibawah tangan atau nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas pencatat nikah dan tidak tercatat di KUA maupun Catatan Sipil “Ben Boy, menyebut ada beberapa faktor penyebab seseorang itu menikah Siri atau Adat yang disebut dibawah tangan, bisa terjadi karena masalah kemampuan finansial yaitu ekonomi juga ada keinginan berpoligami, atau menikah dengan umur yang belum mencukupi ” Ujarnya.
Lebih lanjut Ambrosius Ben boy, SH, dalam pendapat hukumnya menyampaikan, hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 UU perkawinan yang menerangkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku, karena apabila nikah dibawah tangan tidak dicatatkan maka pasangan yang menikah, belum diakui pernikahannya oleh negara, untuk itu apabila telah dilangsungkan pernikahan dibawah tangan, maka akan lebih baik pasangan yang telah menikah haruslah mencatatkan perkawinannya ke KUA ataupun ke catatan sipil agar mendapatkan buku nikah sebagai bukti pencatatan perkawinan .
Perlu untuk diketahui kekuatan hukum kawin siri yang disebut dibawah tangan dalam perkawinan akan berdampak pada hal perceraian, maka hukum yang timbul apabila salah satu pasangan menikah lagi atau meninggalkan pasangannya, maka seorang istri tidak memiliki kuasa untuk gugat atau melakukan apapun, untuk mendapatkan hak atas harta bersama apabila suami tidak memberikannya.
Dengan demikian akan lebih sulit karena pernikahan yang dilakukan dengan cara Nikah dibawah tangan dalam hal pembagian harta terhadap nikah siri yang tidak tercatat oleh negara dan apabila terjadi perceraian istri tidak akan mendapatkan hak apapun dan tidak bisa menuntut apapun dikarenakan pada dasarnya tidak memiliki legalitas hubungan yang jelas dan sah dengan suami.
Juga terkait dalam pembagian Waris, yang mana pelaksanaannya tentang pewarisan, apabila terdapat warisan yang ditinggalkan oleh suami karena meninggal dunia, istri dan anak yang dikuatirkan anak dan istri akan lebih sulit untuk mendapatkan hak harta waris tersebut, terlebih pada seorang suami yang berprofesi sebagai PNS, karena istri maupun anak tidak berhak mendapatkan tunjangan atau apapun,sebab status pada anak yang lahir dari kawin siri, yang tertulis pada Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa anak yang lahir dari pernikahan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.
Sebab perkawinan yang tidak tercatat di KUA bisa jadi akan menimbulkan kerugian di kemudian hari bagi si isteri dan anak yang lahir dari perkawinan siri, karena tidak tercatat maka apabila terjadi hal-hal yang berkaitan dengan hukum maka posisi perempuan dan anak tersebut menjadi lemah, karena tidak ada bukti tertulis yang diakui oleh negara tentang pernikahannya dan ketiadaan bukti nikah (Buku Nikah) membuat posisi perempuan dan anak menjadi sangat riskan, mengingat kasus penelantaran sangat banyak terjadi dengan alasan laki-laki tidak memiliki landasan hukum untuk memberikan nafkah kepada anak isteri hasil dari pernikahan dibawah tangan.
Selain itu Nikah siri akan memberikan dampak yaitu status anak disamakan dengan status anak luar nikah. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah secara negara hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya,dengan begitu dalam akta kelahiran yang tercantum hanya nama ibu, selain itu tidak hanya soal nafkah, pasangan dan anak dari hasil pernikahan siri tidak mempunyai kedudukan yang sah dimata hukum untuk memperoleh waris. Berdasarkan pasal 43 ayat 1 UU perkawinan juncto pasal 100 Kompilasi hukum islam, tidak berhak mewarisi dari ayahnya, sebab anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Namun apabila kelak sang ayah meninggal dunia, sang anak juga tidak berhak menerima warisan apapun dari sang ayah,sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka setelah melalui serangkaian proses pengakuan secara hukum, ia hanya berhak mewarisi dan menerima 1/3 bagian karena bukan dari perkawinan yang sah, sesuai pasal 2 UU perkawinan sebab suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat hukum lain jika harta waris ada dalam penguasaan istri kedua tanpa adanya Akta/Buku Nikah sebagai Alat bukti sah tepah terjadinya pernikahan yang sah menurut undang undang maka istri kedua dan anak hasil pernikahannya tidak mewarisi namun menurut putusan MK 46/PUU-VIII 2010 ,hubungan perdata dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi contoh hasih tes DNA dan Fatwa MUI No.11Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil diluar nikah dan perlakuannya
terkait anak diluar perkawinan menurut hukum perdata merujuk pada pasal 862 hingga pasal 873 KUHPerdata dan Pasal 149 hingga pasal 185 KHI.
Kendati telah mengetahui kedudukan anak diluar nikah dapat dilakukan 2 hal ;
1.Berdasarkan pasal 49 UU No.24 tahun 2013 tentang perubahan atas UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan adalah yang dimaksud dengan pengakuan anak merupakan pengakuan seorang ayah terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut.
2.Berdasarkan Pasal 50 UU No 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 tentang Pengesahan anak.
Oleh karena itu jika sebelum menikah dengan istri kedua terdapat harta warisan sekalipun dalam penguasaan istri kedua maka harta warisan jatuh pada istri pertama terhadap istri kedua, dan merujuk pada pasal 49 KHI ayat 1 dan 2 dan mengenai hak istri kedua atas harta bersama dalam pernikahannya merujuk pada pasal 96 ayat 1 KHI yang menyatakan apa bila terjadi cerai mati harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pembagian harta waris pernikahan poligami jika tidak dicantukan pemisahan harta bersama maka kedua istri saling mewarisi sebagaimana penjelasan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama sehingga hak istri pertama 1/2 dri harta bersama dengan suami selama perkawinan dan 1/3 yg diperoleh suami bersama istri kedua dan anak dari istri pertama dan kedua memiliki hak waris.
Agar tidak terjadi persoalan dikemudian hari alangkah baiknya sebelum menikah dilangsungkan pembagian harta bersama dan jika terjadi persoalan hukum alangkah baiknya di selesaikan secara kekeluargaan agar tidak berdampak pada tumbuh kembang anak ” Tutupnya. (Rls).