Kab.Bekasi –
Delikkasus13.com.-
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Dr. DWI SENO WIJANARKO, S.H.,M.H.,CPCLE.,CPA.CPM hadir sebagai Ahli Pidana dalam Agenda Pembuktian di Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II Jl.Sukamahi, Kec. Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat 17530, Pada Kamis, 15/6/2023.
Dosen yang dihadirkan oleh Kantor Hukum NYDP & Partners berdasarkan surat Tugas dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya No. 0447/VI/2023/FH-UBJ tertanggal 13 Juni 2023.
Yang diketahui pada Substansinya di mintai pendapat guna terang nya suatu Perkara atas Perkara yang sedang dihadapi oleh terdakwa MF yang diduga melakukan Tindak Pidana Pasal 374KUHP jo Pasal 372 KUHP jo Pasal 378 KUHP jo Pasal 363 ayat (1) ke-5 jo Pasal 367 ke-2 KUHP jo Pasal 406 KUHP.
Sebagaimana diketahui dakwaan Reg.Perkara No.PDM-129/CKR/03/2023 tertanggal 23 Maret 2023 oleh JPU Sukanda, SH.,M.H.
Dalam kesempatan ini Dr.Dwi Seno Wijanarko,SH.,M.H., CPCLE.,CPA.,CPM. Dosen dengan Jabatan Fungsional / Akademik “Assistant Professor” (Lektor 300) selaku Ahli Pidana Berpendapat bahwa Berdasarkan ASAS IN CRIMINALIBUS, PROBATIONES BEDENT ESSE LUCE CLARIORES : DALAM HUKUM PIDANA, BUKTI HARUS LEBIH TERANG DARI CAHAYA.
“Artinya bukti merupakan hal yang fundamental harus ada, karena tanpa bukti suatu peristiwa hukum tidak akan dapat menjadi terang dan jelas, sanksi Tindak Pidana merupakan sanksi yang membatasi Hak Asasi Manusia yang dilindungi secara konstitusi sehingga penegakan hukum dalam tindak Pidana haruslah berdasarkan alat bukti dengan terang benderang karena menyangkut Hak kebebasan seseorang”ujarnya
Lebih Lanjut Dr. Dwi Seno berpendapat bahwa ” Dalam konteks Hukum Pidana Materil esensi penerapan pasal 378 KUHP adalah harus adanya keadaan yang tidak sejatinya dan atau serangkaian kebohongan tipu muslihat, apabila seseorang sebagai direktur menjalankan perusahaannya secara real tanpa adanya menggunakan martabat palsu maupun serangkaian kebohongan maka unsur inti dalam pasal 378 KUHP tidaklah terpenuhi, lebih lanjut pasal 372 KUHP yang menjadi esensinya adalah ada nya perbuatan memiliki barang/benda secara melawan hak, sebagian atau seluruhnya sehingga ahli perpandangan bahwa jika seseorang yang sama sekali tidak memiliki barang yang menjadi obyek dugaan penggelapan baik sebagian atau seluruhnya maka hal tersebut tidak lah dapat dikualifikasikan dengan perbuatan penggelapan” Jelas Dr. Dwi seno.
Dosen Pengajar mata Kuliah hukum Pidana itu menjelaskan “esensi penerapan pasal 406 KUHP merupakan perbuatan pengrusakan barang milik orang lain, namun jika seseorang sebagai Direktur Utama pemilik dari perusahaan tersebut melakukan pengrusakan barang milik perusahaannya maka sekalipun telah terjadi pengrusakan namun itu bukan lah pengrusakan yang dimaksud dalam pasal 406 KUHP, karena barang/benda itu merupakan hak nya ia sendiri.” Jelasnya
Selanjutnya Dr. Dwi Seno menjelaskan Dalam Doktrin terhadap penerapan pasal Pencurian dengan Pemberatan dalam Pasal 363 KUHP unsur nya tetap harus memperhatikan Genus pasalnya yakni 362 KUHP. Dimana unsur pasalnya adalah mengambil barang/benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, lalu jika barang/benda yang diambil tersebut merupakan milik perusahaannya sendiri maka tidaklah terpenuhi perbuatan mengambil secara melawan hukum sebagaimana pasal 363 KUHP” Terang Dr Seno dihadapan majelis Hakim.
Masih dengan Pendapatnya, Dr. Dwi Seno menyampaikan Seorang terdakwa di hadirkan dimuka persidangan adalah untuk di adili bukan untuk dihukum sehingga kebenaran materil untuk menemukan ada tidaknya kesalahan bagi diri terdakwa haruslah mutlak adanya, Berdasarkan Teori Kesalahan dan ASAS GEEN STRAF ZONDER SCHULD adalah TIDAK ADA PIDANA TANPA KESALAHAN’’ ARTINYA JIKA PADA SEORANG PEMBUAT TINDAK PIDANA TIDAK DITEMUKAN ADANYA KESALAHAN MAKA TIDAK DAPAT MENJATUHKAN PIDANA TERHADAPNYA kesalahan merupakan syarat untuk memidanakan seseorang artinya untuk menerapkan seseorang telah melakukan tindak pidana, Maka harus ditemukan ada nya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku delik, jika tidak ditemukan adanya kesalahan maka terhadap pelaku delik tidak dapat dipidana dan tidak dapat dimintai pertanggung jawaban hukum.
Berdasarkan adagium hukum.
“JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA : seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan, Berdasarkan Yurisprudensi MA No.33K/MIL/2009 salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa jika terjadi keraguan-keraguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan (Asas In Dubio Pro Reo) ”jelas Dosen yang akrab disapa Dr. Seno
Dosen Universitas Bhayangkara juga menjelaskan Berdasarkan Hukum Formil yang harus diperhatikan adalah Legal Standing Pelapor, atau Kedudukan Hukum dalam perkara pidana adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan pelaporan di Kepolisian Republik Indonesia terhadap dugaan tindak pidana yang ia ketahui atau ia alami.
Ketentuan Legal Standing dalam perkara pidana terdapat pada Pasal 1 butir 24 KUHAP yang berbunyi:
“Laporan diartikan sebagai pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki hak berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang terkait peristiwa pidana yang telah/berlangsung, atau diduga akan terjadi,Frasa, disampaikan oleh seseorang yang memiliki hak berdasarkan undang-undang tersebut merupakan dasar bahwa setiap laporan harus memenuhi legal standing agar laporan tersebut dapat diproses. Apabila pelapor tidak mempunyai legal standing hukum yang benar sekalipun delik pidana nya adalah delik biasa maka terhadap laporan tersebut menjadi cacat formil dan cacat hukum.
Penegakan hukum Materil yang bertentangan dengan hukum formil merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, sedangkan menegakan hukum formil yang menyampingkan substansi Hukum Materil maka akan menegakan hukum sebagaimana kaca mata kuda” Tutup Dr . Dwi Seno.( Red )